Oleh: Nada Julista. S – Mahasiswa Biologi FMIPA Unand
Selama pandemi Covid-19 ini, tentunya kita dihadapkan dengan pencarian solusi terkait masalah ini dengan berbagai upaya penelitian, terutama untuk penelitian vaksin Covid-19. Berbagai kandidat dari berbagai negara berpacu untuk memformulasikan vaksin ini yang tentunya melalui berbagai tahap uji klinis sebelum dapat diperbanyak dan disebarluaskan.
Lalu, apa hubungannya dengan menurunnya populasi hiu? Ya, tentu saja ini berhubungan. Telah diketahui bahwa 5 dari 42 kandidat vaksin Covid-19 ini menggunakan senyawa squalene yang berasal dari organ hati hiu. Penggunaan hiu ini tentunya menambah angka penurunannya yang bahkan sebelum pandemi ini telah hilang sebesar 90% dari jumlah yang pernah ada dalam sejarah. Kita tahu bahwa alam bekerja dalam prinsip keseimbangan, sehingga terganggunya salah satu komponen akan menghasilkan implikasi yang luas. Sebagian besar kita tidak akan memperdulikan hal ini sebelum dampaknya kita rasakan di waktu mendatang. Untuk itu, muncul tidaknya dampak tersebut bergantung kepada kita, karena ini adalah masalah kita bersama.
Menurut New York Times, squalene adalah senyawa kimia yang menginisiasi kerja sistem imun dan menstimulasi proteksi dalam tubuh sehingga tubuh lebih tahan terhadap serangan penyakit. Selain itu senyawa ini juga digunakan untuk vaksin Malaria, vaksin Flu, dan pada produk kosmetik, seperti tabir surya. Dari kegunaan senyawa tersebut dapat kita simpulkan bahwa pemakaian squalene ini sudah berlangsung sebelum adanya pandemi Covid-19 ini, yang berarti tingkat kerentanannya akan menurunnya jumlah populasi hiu tentu meningkat dengan bertambahnya kebutuhan akan senyawa ini untuk diformulasikan pada vaksin Covid-19.
Tentunya hal ini tidak dapat dibiarkan. Karena kebutuhan squalene ini untuk vaksin Covid-19 tidak sedikit, dimana untuk menghasilkan 1 ton squalene dibutuhkan 3000 individu hiu untuk diisolasi organ hatinya. Dan ahli konservasi telah menyatakan sekitar 500.000 hiu telah dibunuh untuk keperluan vaksin ini.
Lalu tentunya untuk memenuhi kebutuhan seluruh manusia di dunia akan cukup mengakibatkan pengurangan populasi ini secara besar-besaran bahkan punah, miris sekali. Bukan hanya itu, hal ini dapat merusak habitat hiu dan tentunya dengan pengurangan keberadaan hiu yang tajam ini akan berdampak pada rantai makanan di ekosistem laut. Menurunnya suatu populasi di suatu ekosistem dapat mengakibatkan ketidakseimbangan ekosistem terkait dengan rantai makanan di ekosistem tersebut.
Menurut jurnal Science yang berjudul Trophic Downgrading of Planet Earth (2011), populasi hiu telah berkurang hingga 90% dari jumlah yang pernah ada dalam beberapa dekade. Tidak hanya itu, serigala bahkan hampir punah. Singa yang pada awalnya berjumlah 450.000 individu menurun menjadi 20.000 individu dalam 50 tahun. Dan ini merupakan masalah kita bersama. Dengan menurunnya predator-predator puncak diatas, tentunya dapat menyebabkan perubahan ekosistem dunia secara drastis.
Seberapa besar dampak dari penurunan hingga punahnya predator puncak pada ekosistem dapat kita lihat pada hewan serigala yang sempat punah di kawasan Amerika. Punahnya serigala lokal tersebut mengakibatkan rusa bertumbuh secara liar, melahap vegetasi (pohon Aspen dan Willow muda).
Bukan hanya itu, mereka juga menghancurkan vegetasi sungai yang menyebabkan menurunnya jumlah burung dan berang-berang serta meningkatkan erosi tanah akibat kurangnya naungan dari pohon di tepi sungai. Contoh lainnya adalah menurunnya jumlah populasi macan tutul dan singa di kawasan Afrika yang menyebabkan populasi baboon menjadi berlimpah. Hal ini mengakibatkan baboon menginvasi populasi manusia. Dan yang lebih mengejutkan lagi, baboon ini membawa parasit usus kepada populasi manusia.
Dan tentunya pengaruh dari menurunnya populasi hiu juga telah diamati oleh para peneliti. Dengan menurunnya jumlah populasi hiu menyebabkan melimpahnya populasi ikan duyung (herbivora). Akibatnya, padang rumput laut hancur oleh ikan duyung yang tumbuh secara liar yang tentunya merusak keseimbangan ekosistem dan terganggunya rantai makanan pada ekosistem laut sehingga ikan duyung harus mencari alternatif lain setelah kehancuran padang rumput laut. Tidak hanya ikan duyung saja yang bergantung pada rumput laut, tetapi juga hewan lain seperti penyu, hiu martil, dan bahkan hiu kepala sekop (Bonnethead) meski masih dalam penelitian.
Dengan dampak yang telah muncul belakangan ini, sebaiknya kita dapat memulai upaya perbaikan dan pengawasan terkait hal ini. Kita dapat upayakan dari hal-hal yang dekat dengan kita, misalnya dengan menyosialisasikan kepada masyarakat akan pentingnya konservasi sumber daya ikan yang diatur dalam UU RI No. 45 tahun 2009. Karena pada kebanyakan kasus, para pelaku tidak memiliki pemahaman akan dampak yang ditimbulkan di waktu yang akan datang. Dengan demikian, maka akan timbul rasa kesadaran akan pentingnya eksistensi suatu jenis makhluk hidup terhadap ekosistem.
Kemudian, mungkin kita dapat mengupayakan penggunaan alternatif lain untuk semua produk yang menggunakan bahan dari hiu ini, jika memungkinkan dapat dikembangkan dalam bentuk sintetis. Kita sebaiknya menggunakan bahan lain yang jumlahnya masih berlimpah dan dapat digunakan secara berkesinambungan. Kita juga dapat menghindari mengonsumsi produk berbahan hiu ini untuk mendukung menurunnya kegiatan ilegal yang hanya memikirkan keuntungan pribadi saja. Dan yang terakhir, tidak memandang hewan ini sebagai hewan yang mengancam bagi manusia, sehingga kegiatan pembunuhan secara besar-besaran tidak dapat terjadi lagi.