DAUD RASYISIDI
Oleh : Syaiful Anwar
Dosen FE Unand Kampus II Payakumbuh
A. Riwayat Hidup Daud Rasyidi
Daud Rasyidi dilahirkan dalam kalangan keluarga sederhana tahun 1890 H M/1279 H, di Balingka sebuah desa dalam kecamatan IV Koto, kabupaten Agam. Ayahnya, Rasyidi seorang ulama serta pemuka adat, dan ibunya bernama Nanti‖ seorang wanita alim dan taat beribadah (Edwar, 1981: 136)
Dari kecil Daud Rasyidi sudah memperlihatkan kecerdasan dan kecakapannya. Ia enam orang bersaudara, dua orang di antara kakaknya H.Abdul Latif, Nurijah dan termasuk ia sendiri dikenal sebagai ulama, sedangkan tiga orang lainnya sudah tidak ada lagi cerita tentang mereka (Edwar, 1981: 136)
Dari masa kanak-kanaknya Daud Rasyidi mulai diajar mengaji Al-Quran oleh kedua orang tuanya di kampung. Setelah berhasil menamatkan Al-Quran dan dasar-dasar agama bersama orang tuanya itu kemudian ia bersama kakaknya H.Abdul Latif pergi melanjutkan pelajaran ke Muara Labuh terutama dalam bidang ilmu nahu, sharaf, fiqh dan membaca kitab disamping memperdalam pengajian AlQuran dengan Syaikh Mustharfa Sungai Pagu. Kebesaran jiwanya sudah ditunjukkan waktu itu. Betapa tidak, pada masa tahun 1887 M, ia sendiri masih berusia tujuh tahun, pergi menuntut ilmu ke daerah lain merupakan keadaan yang luar biasa. Di sana ia tidak hanya belajar berbagai pelajaran ilmu agama lainnya, tapi juga membekali diri dengan ketrampilan seperti belajar menjahit pakaian (Edwar, 1981: 136)
Disamping guru dan orang tuanya, kakak Daud Rasyidi yang bernama H.Abdul Latif itu, punya andil yang sangat besar dalam mendidik Daud Rasyidi. Hal ini dapat dibuktikan kembali, tahun 1895 ketika Daud berusia 15 tahun, dibawa oleh kakaknya itu ke Makkah Al-Mukarramah untuk memperdalam ilmu agama serta pengetahuan tilwawatul Quran merangkap qiraatnya yang fashahah dan tajwidnya yang sempurna, disamping menunaikan rukun Islam yang kelima, haji ke Baitullah.
Sewaktu kecil Daud memang tak pernah mendapatkan pendidikan formal baik dari tingkat dasar maupun sampai tingkat tinggi, karena itu ia tak memiliki ijazah, baik yang sederajat dengan SD, SLTP, dan ukuran dari ilmu yang dimilikinya. Kemampuan seseorang jelas bukan tergantung pada ijazah yang dimilikinya, tapi sampai dimana dapat berbuat dengan pengatahuan yang dipunyainya itu, seperti Daud Rasyidi.
Satu sikap intelek yang dimiliki Daud Rasyidi, ia ingin mencapai kepuasan intelektual, dan kepuasan rohaninya. Ia tipe orang yang haus ilmu, ingin belajar dan terus belajar. Maka pada suatu hari, tak berapa lama sekembalinya dari Mekkah, desakan jiwanya tak tertahankan lagi untuk merantau mencari pengatahuan. Sertamerta keinginannya itu disampaikan kepada ibunya, Nanti. Ibunya menyatakan keberatan dan keengganan melepas anaknya pergi jauh dari sisinya, karena kemiskinan terlalu mencengkam hidup mereka sekeluarga, dan ayahnya Rasyidi telah tiada pula.
Keberatan ibunya tidak membuat Daud patah semangat dan putus asa. Ia mencoba membujuk ibunya dan berusaha untuk tidak menyusahkan, kepada ibunya ia tidak meminta selain ‗sebungkus nasi‘, disamping minta doa restu. Akhirnya ibu Nanti menyerah dan mau melepas puteranya dengan bekal sebungkus nasi dan uang 35 sen yang diberi kakak Daud, Nurijah (Ijah). Dengan tekad yang bulat Daud melangkah meninggalkan kampung halaman menuju daerah Padang. Dengan tekad yang bulat Daud berjalan kaki ke Padang.
Dengan semangatnya yang membaja membuat Daud tak merasa lelah dalam perjalanan. Baru di Lembah Batang Anai, perutnya terasa lapar minta diisi. Nasi bungkusnya ia buka, seperdua nasi bungkusnya dimakan dengan lahapnya, dan selebihnya dibungkus kembali untuk bekal makan sore.
Sampai di Kayutanam, Daud bermalam di sebuah surau tinggal (surau yang tak dikunjungi orang). Semula ia akan menumpang bermalam pada sebuah kedai nasi tapi niatnya itu segera ia batalkan karena di kedai itu banyak orang sedang main judi.
Pada hari berikutnya sampailah Daud di Padang. Di daerah ini ia terus menuju Masjid Ganting, lantas ia tinggal di sana sebagai pembantu penjaga masjid, sambil mempelajari kota Padang. Hari-hari berikutnya tidak ia lewatkan barang sedikitpun dengan sia-sia.
H. Daud Rasyidi mulai berpikir membagi waktu antara belajar dan mencari nafkah. Siang ia membuka praktek menjahit dengan menggunakan keterampilan menjahitnya, yang ia pelajari di Muara Labuh dulu, sedangkan malam hari ia belajar memperdalam ilmunya dalam bidang ilmu nahu, sharaf, fiqh, dan membaca kitab bahasa Arab, serta membaca latin. Gurunya dalam hal ini bernama Syeikh Muhammad Thaib Singkarak, yang berdomisili di Belakang Tansi Padang.
Dua tahun berlalu bagi H. Daud bersama gurunya H. Muhammad Thaib di Belakang Tansi itu, kemudian ia pindah ke pasar Mudik Pasar Gadang, belajar dengan tuan H. Zaibidi. Tidaklah salah pepatah mengatakan dimana ada kemauan disitu ada jalan‖. Terbukti bagi H. Daud, bahwa ia melihat titik terang dalam kelanjutan kehidupannya. Ia tidak perlu lagi susah payah banting tulang cari nafkah. Dua orang saudagar Engku Sutan Mangkuto dari Koto Hilalang Balingka, dan Engku Sutan Pangeran Guguk Tinggi, bersedia menampung H. Daud, berkat usaha gurunya H. Zaibidi yang merasa simpati melihat kekerasan hati H. daud muridnya ini untuk menuntut ilmu pengetahuan.
Akan tetapi sifat H. Daud yang tidak ingin berleha-leha saja tampa bekerja, maka ia mengumpulkan anak-anak di sekitar Pasar Gadang untuk diajar mengaji Al-Qur‘an. Semua itu dilakukannya atas persetujuan dari kedua engkunya. Qiraatnya yang fasih membuat H. Daud disenangi muridmuridnya. Begitu juga para gurunya dan kedua engkunya gembira melihat apa yang sudah diperbuat oleh H. Daud. Akhirnya sejak saat itu H. Daud dikenal dikenal sebagai ulama meskipun kemampuannya masih terbatas dalam mengajarkan kitab-kitab Arab seperti nahwu sharaf, fiqh, disamping mengajarkan Al-Qur‘an.
Kota Padang Panjang pada tahun 1903 termasuk kota perdagangan yang ramai dikunjungi orang dari berbagai pelosok daerah itu. Orang tidak saja datang berdagang tetapi juga untuk menuntut ilmu pengetahuan pada surau-suraudan madrasah yang ada di sana. Kaetika itulah H. Rasyidi menginjakkan kakinya di kota ini setelah beberapa tahun menuntut ilmu pengetahuan I kota padang.
Kedatangannya di Kota Padang Panjang dengan niat suciakan mengabdikan ilmu-ilmu yang telah dipelajarinya selama ini. Daud dianjurkan oleh kakak-kakaknya H. Abdul Latif mengajar di surau Jembatan Besi kepunyaan Dr. H. Abdullah Ahmad, karena kakaknya sudah lama mengajar disana. Dan kesehatannya sudah tidak mengizinkan lagi untuk terus mengajar. Akhirnya mengajarlah H. Daud di sana.
Karena ketaatan, keteguhan iman dan pebdiriannya dalam menjalankan syari‘at menurut kitabullah dan sunnahnya Rasul, serta kedisiplinannya terhadap murid-murid, membuat Surau Jembatan Besi menjadi maju. Para murid berdatangan dari berbagai daerah Sumatera Barat samapai kemudian surau ini menjelma menjadi Sumatera Thawalib‖. Yang akhirnya banyak melahirkan alim ulama dan pemimpin-pemimpin perjuangan nasional di Sumatera Barat khususnya dan di Indonesia pada umumnya.
H. Daud Rasyidi masih berada di kota Padang Panjang, ketika terjangkitnya penyakit cacar dan kolera di sana pada tahun 1905M. Musibah ini banyak merenggut nyawa manusia, korban berjatuhan, membuat orang sibuk mengurus mayat.
Tragisnya lagi ada yang diantaranya yang dikubur tampa menurut syari‘at, seperti dimandikan, dishalatkan,dan dikapani sebelum dikuburkan. Peristiwa ini terjadi atas kematian seorang narapidana yang beragama Islam yang meninggal di dalam penjara. Kejadian itu membuat H. Daud Rasyidi sedih dan membayangkan betapa orang-orang di kota itu akan memdapat dosa karena tidak melaksanakan kewajiban fardu kifayah mereka atas mayat.
Dengan keberanian yang luar biasa, Daud mendesak Tuangku Demang seorang penguasa ketika itu, supaya dapat diizinkan menggali kuburan narapidana itu menunaikan fardhu kifayah atas dirinya. Selama Tuangku Demang tidak mengizinkannya, bahkan menakuti Daud karena penyakit itu sangat berbahaya dan cepat menular. Pendirian Daud tak tergoyahkan demi menegakkan agama Allah, ia mendesak lagi sampai akhirnya Tuangku Demang mengajaknya menghadap Tuan Luhak (asisten Residen Padang Panjang). Permintaan Daud akhirnya dikabulkan, bahkan ketika itu untuk menghadap Tuangku Demang saja bukan main sulitnya, apalagi asisten residen, namun kesulitan itu dapat ditembus H. Daud. Permintaan H. Daud dikabulkan, bahkan dengan perintah Tuan Luhak kuburan itu digali oleh penghunipenghuni penjara di bawah tuntunan seorang dokter militer Padang Panjang. Setelah semuanya dikerjakan dan diselamatkan oleh H. Daud sendiri menurut syari‘at Islam, barulah mayat itu dikuburkan kembali dengan bantuan tenaga para narapidana.
Setahun kemudian, sekitar tahun 1906, H. Daud berkelana memperdalam ilmunya ke daerah Maninjau. Demikianlah sifat H. Daud yang sangat haus dengan ilmu pengetahuan. Di daerah ini ia belajar dengan ulama besar Abdul Karim Amrullah, dengan panggilan Haji Rasul. Haji Rasul baru kembali dari Makkah yang kemudian menjadi ulama terkenal di Minangkabau dan menjadi guru besar bagi para ulama muda termasuk anak kandungnya sendiri Buya Hamka (H. Abdul Malik Karim Amrullah).
Disanalah H. Daud memperdalam ilmu pengetahuannya, selama dua tahun pulang pergi menuruni kelok 44 Maninjau, yang terkenal curam menjelang Sungai Batang di pinggiran Danau Maninjau yang indah permai. Disamping itu H. Daud harus pula tetap mengajar di Surau Jembatan Besi Padang Panjang.
Setelah tua tahun, tumbuh pula fikiran H. Daud menuntut ilmu pengetahuan ke sumbernya di Makkatal Mukarramah dan ia berhenti mengajar di Jembatan Besi. Dengan perginya H. Daud ke Makkah maka pimpinan pengajian Surau Jembatan Besi di pegang oleh kakaknya H. Abdul Latif. H. Daud berangkat ke Makkah bersama anak kakaknya H. Abdul Latif yang bernama Mukhtar Luthfi. H. Daud bisa berangkat ke Makkah berkat bantuan kakaknya H. Abdul Latif.
Di Makkah H. Daud langsung menemui guru besar asal Minangkabau juga yang bernama Syaikh Ahmad Khatib alMinangkabaway. Syaikh ini sangat menjadi tumpuan bagi para ulama dari Minangkabau. Sebab syeikh ini telah cukup lama bermukim dan berpengaruh di tanah suci ini. Bersama Syaikh Ahmad Khatib inilah H. Daud belajar selama 4 tahun dalam bidang ilmu tasawuf, fiqh, bahasa Arab dan sebagainya.
Ketika H. Daud sedang terlena dan asyik belajar di tanah suci ini, ia menerima berita duka dari kampung tentang kematian kakaknya H. Abdul Latif. Seseorang yang sudah sangat berjasa bagi H. Daud sampai ia menjadi seorang alim dan berpengetahuan luas. Kakaknya meninggal karena penyakit yang ganas, ketika ia masih aktif mengajar di surau Jembatan Besi dan tengah berjuang bersama masyarakat menentang Belanda yang akan melaksanakan blasting. Bahkan dinukilkan bahwa kakaknya berpulang kerahmatullah ketika ia memikirkan tentang perjuangan rakyat menentang kolonial Belanda seperti terjadinya perang Kamang, Perang Rao, Perang Manggopo. Perang Lintau dan lain-lain.
Keberhasilan cita-cita dan usaha kakaknya dan keberhasilan dirinya terbukti dengan kepercayaan gurunya Syaikh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi atas dirinya memberi selembar ijazah sebagai penghargaan terhadap kemampuan ilmu yang dimilikinya. Ijazah ini diberikan ketika Daud telah memutuskan untuk pulang ke kampung, untuk melajutkan perjuangan dan dakwah Islamiyah serta idealisme kakaknya. Dan perlu dicatat, ijazah yang ia peroleh dengan gemilang itu tidak boleh dikeluarkan, jika orang yang memilkinya tidak dapat menunjukkan kemampuan ilmunya untuk menyebarluaskan pengetahuan yang diperolehnya.
Kehadiran Daud Rasyidi di kampung disambut baik oleh masyarakatnya. Mereka sudah lama menunggu seorang ulama seperti dia. Dengan demikian mereka memanfaatkan kepulangannya itu dan memintanya agar mereka menetap di kampung halaman dan sudi mengajar anak nagari dalam seluk beluk Islam.
Pada tahun 1913, atas insiatif masyarakatnya dibuatlah surau untuk Daud dan menetapkan Daud sebagai guru tetap di surau itu. Dalam waktu yang tidak begitu lama surau ini dikenal masyarakat Minangkabau. Muridnya berdatangan dari berbagai daerah, bahkan mantan murid Daud di surau Jembatan Besi Padang Panjang kembali menyambung pelajarannya kepada guru lamanya itu. Tidaklah mengherankan sejak saat itu Daud dikenal sebagai sosok ulama karismatik. Ini disebabkan karena Daud tipe ulama yang bukan hanya pandai berbicara, tapi mengamalkan apa yang dibicarakannya, dan ia sangat tawadhu makin berisi makin merunduk‖. Ia tahu adat di kampung, ia suka menghormati daripada dihormati, suka memuliakan daripada dimuliakan. Ia mengamalkan falsafah Minangkabau, kalau mengajak orang berbudi mulia, terlebih dahulu kita harus berbudi luhur dan terpuji, sehingga tegak wibawa dan kepemimpinannya.
Dengan demikian murid-murid Daud Rasyidi semakin bertambah banyak, kepercayaan masyarakat padanya semakin mendalam, keadaan nagari Balingka sudah mulai berubah kearah yang lebih baik. Namun, ujian Allah pun datang. Pada tahun 1916 terjadi banjir besar. Surau tempat Daud mengajart dan tempat beribadat hanyut bersama binatang ternak serta bangunan-bangunan lainnya, dan banyak menimbulkan korban jiwa, sawah-sawah rakyat banyak tertimbun batu, benar-benar membawa kerugian bagi penduduk.
Setelah musibah itu, Daud melepas muridnya belajar lagi kepada sahabatnya Syaikh Ibrahim Musa Parabek yang baru kembali dari Mekkah, dan Daud sendiri pergi ke tanah semenanjung Malaysia bersama Syaikh Abdul Karim Amrullah sekedar menghibur hati disamping keinginan menambah pengetahuan serta pengalaman (Edwar, 1981:
145).
Sekembali dari Malaysia, Daud Rasyidi tidak hanya mengajar di Surau (Pesantren) sebagaimana biasa, tapi ia pun terjun ketengah-tengah masyarakat menyebarluaskan agama dengan cara berdakwah, dan disamping itu suraunya yang dihanyutkan banjir itu, ia bangun kembali bersama masyarakat, yang sampai hari ini tetap berdiri kokoh sebagai bukti sejarah (Edwar, 1981: 145).
B. Pemikiran Pendidikan Daud Rasyidi
1. Mengajar dan Berdakwah Harus Ikhlas
Dalam mengajar dan berdakwah, Daud Rasyidi tak pernah merasa lelah dan pamrih dan ia tak pernah mengharap imbalan dari siapa-siapa, karena ia tidak ingin mengemban profesi ‗Muballigh amplop‘ juga ia tak harapkan pujian dari siapapun, hanya saja kerja ini ia pikul karena ikhlas dengan gaji lillahi ta‘ala‖dan mengharap keridhaan-Nya.
Dari penjelasan di atas tergambar dengan jelas bahwa Daud Rasyidi senantiasa menerpakan konsep Ikhlas‘ dalam setiap aktivitasnya.
2. Suri Tauladan yang Baik (Uswah Hasanah)
Dalam mengajar dan menyampaikan dakwahnya Daud Rasyidi tidak hanya berseru-seru menyampaikan kebenaran itu, tetapi ia langsung ikuti dengan perbuatan nyata. Kalau ia mengajak orang berwakaf, ia yang lebih dahulu. Kalau ia mengajak orang shalat tepat pada waktunya ia terlebih dahulu shalat tepat pada waktunya (Edwar, 1981: 147).
Daud Rasyidi dikenal sebagai ulama yang taat, tekun mengamalkan ilmu pengetahuannya, zuhud dan wara‘dibanding ulama-ulama lainnya. Sahabatnya, Muhammad Jamil Jambek dan Abdul Karim Amrullah seringkali menyebut Daud sebagai orang yang taat, zuhud dan wara. (Edwar, 1981: 147).
3. Organisasi
Dalam menghadapi kolonial Belanda dalam siasat jahatnya mempersulit perkembangan dakwah Islamiyah di Minangkabau, Daud Rasyidi tidak menghadapi sendiri, tapi ia dengan cara yang strategi mendorong pergerakan organisasi Islam Muhammadiyah, karena Muhammadiyah aktif dalam membina perguruan-perguruan Islam, gerakan lembagalembaga dakwah dan pemeliharaan anak yatim (Edwar, 1981: 147).
Selain itu Daud dan kawan-kawannya mendirikan Persatuan Guru-guru Agama Islam (PGAI) di Padang tahun 1919, yang antara lain kegiatannya bergerak dalam bidang pendidikan Islam dan gerakn sosial lainnya.
Daud Rasyidi juga berjuang keras dan aktif menghimpun Alim Ulama dan pemimpin-pemimpin Islam untuk mengadakan suatu sidang di Padang, guna menyatukan pendapat dalam menentang ordonansi Sekolah Liar pemerintah Belanda tahun 1932, serta ordonansi kawin tercatat yang menghilangkan hak kekuasaan Wali dan Ninik Mamak (Edwar, 1981: 149)